Kamis, 05 Maret 2009

Cerita 2

17. LONCENG-LONCENG KUIL
Sebuah kuil dibangun di suatu pulau, tiga kilometer jauhnya dari pantai. Dalam kuil itu terdapat seribu lonceng. Lonceng-lonceng yang besar, lonceng-lonceng yang kecil, semuanya dibuat oleh pengrajin-pengrajin terbaik di dunia. Setiap kali angin bertiup atau taufan menderu, semua lonceng kuil serentak berbunyi dan secara terpadu membangun sebuah simponi. Hati setiap orang yang mendengarkannya terpesona.
Tetapi selama berabad-abad pulau itu tenggelam di dalam laut; demikian juga kuil bersama dengan lonceng-loncengNya.
Menurut cerita turun-temurun lonceng-lonceng itu masih terus berbunyi, tanpa henti, dan dapat didengar oleh setiap orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tergerak oleh cerita ini, seorang pemuda menempuh perjalanan sejauh beribu-ribu kilometer. Tekadnya telah bulat untuk mendengarkan bunyi lonceng-lonceng itu. Berhari-hari ia duduk di pantai, berhadapan dengan tempat di mana kuil itu pernah berdiri, dan mendengarkan, mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi yang didengarnya hanyalah suara gelombang laut yang memecah di tepi pantai. Ia berusaha mati-matian untuk menyisihkan suara gelombang itu supaya dapat mendengar bunyi lonceng. Namun sia-sia. Suara laut rupanya memenuhi alam raya.
Ia bertahan sampai berminggu-minggu. Ketika semangatnya mengendor, ia mendengarkan orang tua-tua di kampung. Dengan terharu mereka menceritakan kisah seribu lonceng dan kisah tentang mereka yang telah mendengarnya. Dengan demikian ia semakin yakin bahwa kisah itu memang benar. Dan semangatnya berkobar lagi, apabila mendengar kata-kata mereka ... tetapi kemudian ia kecewa lagi, kalau usahanya selama berminggu-minggu ternyata tidak menghasilkan apa-apa.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri usahanya. Barangkali ia tidak ditakdirkan menjadi salah seorang yang beruntung dapat mendengar bunyi lonceng-lonceng kuil itu. Mungkin juga legenda itu hanya omong kosong saja. Lebih baik pulang saja dan mengakui kegagalan, demikian pikirnya. Pada hari terakhir ia duduk di pantai pada tempat yang paling disayanginya. Ia berpamitan kepada laut, langit, angin serta pohon-pohon kelapa. Ia berbaring di atas pasir, memandang langit, mendengarkan suara laut. Pada hari itu ia tidak berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya sendiri kepadanya. Dan ia pun menemukan suara yang lembut dan menyegarkan di dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu tenggelam dalam suara itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya.
Di dasar keheningan itu, ia mendengarnya! Dentang bunyi satu lonceng disambut oleh yang lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ... dan akhirnya seribu lonceng dari kuil itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam hatinya meluap rasa kagum dan gembira.
Jika engkau ingin mendengar lonceng-lonceng kuil, dengarkanlah suara laut.
Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya.Pandanglah saja.
18. BERHALA MANUSIA
Suatu ceritera kuno dari India:
Sebuah kapal karam dan terdampar di tepi pantai Sri Lanka. Di situ memerintahlah Vibhisana. Raja para raksasa. Pedagang, pemilik kapal itu dibawa menghadap raja. Ketika melihatnya, Vibhisana menjadi amat bersukacita dan berkata: 'Bukan main. Ia sungguh-sungguh menyerupai patung Ramaku. Bentuknya sama-sama seperti manusia!' Maka ia menyuruh abdinya untuk mengenakan busana mewah dan ratna mutu manikam kepada pedagang itu dan memuliakannya.
Ramakhisna seorang mistik Hindu berkata: 'Ketika waktu pertama kali mendengar cerita ini, aku mengalami kegembiraan yang tak tergambarkan. Jikalau patung tanah liat dapat membantu untuk memuliakan Tuhan, mengapa manusia tidak?"
22. RUMUSAN
Seorang mistik pulang dari padang gurun. 'Katakanlah, seperti apakah Tuhan itu!' tanya orang-orang mendesak.
Tetapi bagaimana mungkin mengungkapkan dalam kata-kata apa yang dialaminya dalam lubuk hatinya yang paling dalam? Mungkinkah mengungkapkan Yang Mahabesar dalam kata-kata manusiawi?
Akhirnya ia memberi mereka sebuah rumusan - begitu kurang tepat dan serampangan! - dengan harapan bahwa beberapa dari antara mereka mungkin akan tertarik untuk mencari sendiri apa yang dialaminya.
Mereka berpegang kuat pada rumusan itu. Mereka mengangkatnya menjadi naskah suci. Mereka memaksakannya kepada setiap orang sebagai kepercayaan suci. Mereka bersusah-payah menyebarkannya di negeri-negeri asing. Bahkan ada yang mengorbankan nyawanya demi rumusan itu.
Orang mistik itu pun menjadi sedih. Mungkin lebih baik, seandainya dulu dia tidak pernah berbicara.
23. PENJELAJAH
Penjelajah itu pulang ke kampung halamannya. Penduduk ingin tahu segala sesuatu tentang sungai Amazone. Tetapi bagaimana mungkin mengungkapkan dalam kata-kata perasaan yang memenuhi hatinya, ketika ia melihat bunga-bunga begitu indah memukau dan mendengar seribu satu suara penghuni rimba di waktu malam? Bagaimana menjelaskan perasaan hatinya, ketika menghadapi binatang buas atau ketika mendayung perahu kecilnya melewati arus sungai yang sangat berbahaya?
Ia berkata, 'Pergi dan temukanlah sendiri! Tidak ada yang dapat menggantikan pertaruhan nyawa dan pengalaman pribadi.' Namun sebagai pedoman bagi mereka, ia menggambarkan peta sungai Amazone.
Mereka berpegang pada peta itu. Peta itu dibingkai dan diletakkan di kantor kotapraja. Mereka masing-masing menyalin peta itu. Dan setiap orang yang mempunyai peta, menganggap dirinya seorang ahli tentang sungai Amazone. Sebab, bukankah ia tahu setiap kelokan dan pusaran sungai, berapa lebar dan dalamnya, di mana air mengalir deras dan di mana terdapat air terjun?
Penjelajah itu selama hidupnya menyesalkan peta yang telah dibuatnya. Mungkin lebih baik jika dulu dia tidak menggambarkan apa-apa.
Katanya Buddha tidak pernah mau dipancing untuk berbicara tentang Tuhan.
Rupanya ia menyadari bahaya-bahaya menggambar peta bagi para cendekiawan di masa mendatang.
24. THOMAS AQUINAS BERHENTI MENULIS.
Diceritakan bahwa Santo Thomas Aquinas, salah seorang teolog yang paling bijak di dunia, tiba-tiba berhenti menulis menjelang akhir hidupnya. Waktu sekretarisnya mengeluh bahwa karyanya belumlah selesai Thomas menjawab: Frater [1] Reginald, ketika aku merayakan Misa beberapa bulan yang lalu, aku mengalami Yang Ilahi. Pada hari itu aku sama sekali kehilangan minat untuk menulis.Sebenarnya, semua yang telah kutulis tentang Allah bagiku tampaknya seperti jerami belaka.'
Memang seharusnya demikian jika seorang cendekiawan menjadi seorang mistik.
Ketika seorang mistik turun dari gunung, ia disongsong oleh seorang ateis yang berkata mencemooh: 'Apa yang kaubawa dari taman kebahagiaan yang kaukunjungi?'
Orang mistik itu menjawab: 'Aku sungguh berniat mengisi jubahku dengan bunga-bunga. Dan bila kembali pada kawan-kawanku, aku bermaksud menghadiahi mereka beberapa kuntum bunga. Tetapi ketika aku di sana, keharuman taman itu membuatku mabuk, sehingga aku menanggalkan jubahku.'
Para guru Zen mengatakan hal itu lebih padat dan tepat: 'Orang yang tahu, tidak banyak bicara. Orang yang banyak bicara, tidak tahu.'
--------[1] Frater (Latin): saudara; atau panggilan untuk biarawan yang tidak/belum ditahbiskan
27. APA KATAMU?
Seorang guru menanamkan kebijaksanaan dalam hati muridnya, bukan di atas halaman buku. Si murid mungkin mengendapkan kebijaksanaan itu selama tiga puluh atau empat puluh tahun di dalam hatinya, sampai ia menemukan seseorang yang siap sedia untuk menerimanya. Itulah tradisi Zen.
Guru Zen Mu-nan menyadari bahwa ia hanya mempunyai satu orang penerus, yaitu muridnya Shoju. Pada suatu hari ia mengundangnya dan berkata: 'Sekarang aku sudah tua. Shoju, dan hanya engkaulah yang akan meneruskan ajaranku. Terimalah kitab ini, yang telah diwariskan selama tujuh turunan dari guru ke guru. Aku sendiri menambah beberapa catatan di dalamnya, yang kiranya akan berguna bagimu. Simpanlah kitab ini. sebagai tanda bahwa engkau penerusku.'
'Lebih baik kitab itu Bapak simpan sendiri saja,' kata Shoju. 'Saya menerima ajaran Zen dari Bapak secara lisan, maka saya lebih senang meneruskannya secara lisan pula.'
'Aku tahu, aku tahu,' kata Mu-nan dengan sabar. 'Namun kitab ini sudah disimpan selama tujuh turunan dan mungkin ada gunanya bagimu. Maka, terimalah dan sirnpanlah baik-baik.'
Keduanya kebetulan berbicara di dekat perapian. Begitu diterima Shoju, kitab itu langsung dilemparkannya ke dalam api. Ia tidak tertarik pada kata-kata tertulis.
Mu-nan yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang tidak pernah marah, berteriak: 'Kau melakukan perbuatan biadab!'
Shoju juga berteriak: 'Bapak mengucapkan kata-kata biadab!'
Sang Guru berbicara dengan penuh wibawa tentang apa yang sudah dialaminya sendiri. Ia tidak mengutip satu buku pun.
28. SETAN DAN TEMANNYA
Pada suatu hari setan berjalan-jalan dengan seorang temannya. Mereka melihat seseorang membungkuk dan memungut sesuatu dari jalan.
'Apa yang ditemukan orang itu?' tanya si teman.
'Sekeping kebenaran,' jawab setan.
'Itu tidak merisaukanmu?' tanya si teman.
'Tidak,' jawab setan. 'Saya akan membiarkan dia menjadikannya kepercayaan agama.'
Kepercayaan agama merupakan suatu tanda, yang menunjukkan jalan kepada kebenaran. Orang yang kuat-kuat berpegang pada penunjuk jalan, tidak dapat berjalan terus menuju kebenaran. Sebab, ia mengira seakan-akan sudah memilikinya.
30. TULANG UNTUK MENGUJI IMAN KITA
Seorang cendekiawan Kristen berpendapat bahwa Kitab Suci harus dianggap benar sampai hal yang sekecil-kecilnya.
Pada suatu ketika ia disapa oleh seorang teman sejawatnya: 'Menurut Kitab Suci, bumi itu diciptakan kira-kira lima ribu tahun yang lalu. Tetapi kami telah menggali tulang-tulang untuk membuktikan bahwa kehidupan sudah ada di planet ini sejak ratusan ribu tahun yang lampau.'
Langsung ditanggapi oleh si cendekiawan: 'Ketika Tuhan menciptakan bumi lima ribu tahun yang lalu, ia sengaja menanam tulang-tulang itu di bumi untuk menguji apakah kita lebih percaya pada pernyataan ilmiah atau pada FirmanNya Yang Kudus.'
Terbukti lagi bahwa kepercayaan yang kaku dapat memutarbalikkan kebenaran.
31. MENGAPA ORANG-ORANG YANG BAIK MATI?
Seorang pendeta di pedesaan mengunjungi rumah seorang nenek tua anggota jemaatnya. Sambil minum kopi, ia menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh nenek itu.
'Mengapa Tuhan begitu sering mengirimkan wabah kepada kita?' tanya si nenek.
'Ya, ya, ya ...,' jawab pendeta, 'kadang-kadang orang menjadi begitu jahat, hingga perlu disingkirkan. Maka, Yang Mahabaik mengijinkan datangnya wabah.'
'Tetapi,' tukas si nenek, 'mengapa begitu banyak orang baik juga disingkirkan bersama yang jahat?'
'Orang-orang baik itu dipanggil untuk menjadi saksi,' pendeta menjelaskan. 'Sebab, Tuhan ingin menjalankan pengadilan yang adil bagi setiap jiwa.'
Samasekali tidak ada sesuatu pun yang tidak dapat dijelaskan oleh pemegang kepercayaan yang kaku.
32. SANG GURU TIDAK TAHU
Seorang pencari kebijaksanaan menghampiri seorang murid dan bertanya dengan penuh hormat: 'Apa makna hidup manusia?'
Murid itu lalu mempelajari tulisan Gurunya dan dengan yakin menjawab dengan kata-kata sang Guru sendiri: 'Hidup manusia tidak lain daripada ungkapan kelimpahan Tuhan.'
Ketika pencari kebijaksanaan itu bertemu dengan sang Guru sendiri, ia mengajukan pertanyaan yang sama. Sang Guru menjawab: 'Aku tidak tahu.'
Pencari kebijaksanaan berkata: 'Aku tidak tahu.' Hal itu menandakan kejujuran. Sang Guru berkata: 'Aku tidak tahu.' Hal itu menandakan pemikiran mistik, yang mengetahui segala sesuatu dengan cara tidak mengetahuinya. Murid berkata: 'Aku tahu.' Hal itu menandakan kebodohan dalam bentuk pengetahuan pinjaman.
32. SANG GURU TIDAK TAHU
Seorang pencari kebijaksanaan menghampiri seorang murid dan bertanya dengan penuh hormat: 'Apa makna hidup manusia?'
Murid itu lalu mempelajari tulisan Gurunya dan dengan yakin menjawab dengan kata-kata sang Guru sendiri: 'Hidup manusia tidak lain daripada ungkapan kelimpahan Tuhan.'
Ketika pencari kebijaksanaan itu bertemu dengan sang Guru sendiri, ia mengajukan pertanyaan yang sama. Sang Guru menjawab: 'Aku tidak tahu.'
Pencari kebijaksanaan berkata: 'Aku tidak tahu.' Hal itu menandakan kejujuran. Sang Guru berkata: 'Aku tidak tahu.' Hal itu menandakan pemikiran mistik, yang mengetahui segala sesuatu dengan cara tidak mengetahuinya. Murid berkata: 'Aku tahu.' Hal itu menandakan kebodohan dalam bentuk pengetahuan pinjaman.
33. PANDANGAN MATANYA
Komandan tentara pendudukan berkata kepada kepala desa di pegunungan: 'Kami yakin, kamu menyembunyikan seorang pengkhianat di kampungmu. Jika kamu tidak menyerahkannya kepada kami, dengan segala cara kami akan menyiksamu bersama dengan penduduk desamu.'
Kampung itu memang menyembunyikan seseorang yang tampaknya baik, tidak bersalah serta disayang semua orang. Tetapi apa daya kepala desa itu, kalau keselamatan seluruh kampungnya terancam?
Musyawarah berhari-hari di balai desa ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Akhirnya, kepala desa membicarakan masalah itu dengan pastor di desa. Semalam suntuk mereka berdua mencari-cari pesan dalam Kitab Suci dan akhirnya menemukan pemecahan. Ada nas yang mengatakan: 'Lebih baik satu orang mati daripada seluruh bangsa.'
Maka kepala desa menyerahkan orang yang tidak bersalah itu kepada tentara pendudukan, sambil memohon supaya diampuni. Namun orang itu justru berkata bahwa bahwa tidak ada yang perlu dimohonkan ampun. Ia tidak ingin membahayakan desa. Maka ia pun disiksa dengan kejam, sampai-sampai teriakannya terdengar di seluruh desa. Akhirnya ia dibunuh.
Dua puluh tahun kemudian seorang nabi melewati desa itu dan langsung pergi menemui kepala desa. Katanya: 'Apa yang telah engkau lakukan? Orang itu ditunjuk oleh Tuhan menjadi penyelamat negeri ini. Dan ia telah kau serahkan untuk disiksa dan dibunuh.'
'Tidak ada jalan lain!' kata kepala desa membela diri. 'Pastor bersama saya telah mencari pesan dalam Kitab Suci dan berbuat sesuai dengan pesan itu.'
'Itulah kesalahanmu!' kata sang nabi. 'Engkau mencari-cari dalam Kitab Suci. Seharusnya engkau juga mencari jawaban dalam matanya.'
40. RAKSASA DI SUNGAI
Imam di desa terganggu doanya karena anak-anak ramai bermain-main di sebelah rumahnya. Untuk menghalau anak-anak itu ia berseru: 'Hai, ada raksasa mengerikan di sungai di bawah sana. Bergegaslah ke sana! Nanti kamu akan melihatnya sedang menyemburkan api lewat lubang hidungnya.'
Sebentar saja semua orang di kampung sudah mendengar tentang munculnya raksasa itu. Mereka cepat-cepat berlari menuju sungai. Ketika imam melihat hal ini, ia ikut bergabung bersama banyak orang. Sambil berlari sepanjang jalan menuju ke sungai yang enam kilometer jauhnya, ia kembali berpikir: 'Memang benar, aku sendiri yang membuat cerita. Tetapi, barangkali benar juga, ... siapa tahu.'
Jauh lebih mudah percaya kepada dewa-dewa berhala ciptaan kita sendiri, kalau kita berhasil meyakinkan orang lain, bahwa dewa-dewa memang ada.
43. TELUR
Nasruddin mencari nafkah dengan menjual telur. Seseorang datang di warungnya dan berkata: 'Coba terka apa yang kugenggam ini?'
'Sebutkan ciri-cirinya!' kata Nasruddin.
'Baik! Bentuknya sama seperti telur, ukurannya sebesar telur. Kelihatannya seperti telur, rasanya seperti telur dan baunya seperti telur. Isinya berwarna kuning dan putih, cair sebelum direbus dan menjadi kental bila dimasak. Dan asalnya dari ayam betina ...'
'Nah, aku tahu!' kata Nasruddin. 'Pasti semacam kue!'
Seorang ahli mempunyai keistimewaan ini: tidak menyadari yang sudah jelas. Imam Agung punya keistimewaan: tidak menyadari kedatangan Mesias.
44. BERSERU SUPAYA TETAP SELAMAT - DAN YAKIN.
Pada suatu hari seorang nabi tiba di sebuah kota untuk menobatkan para penduduknya. Mula-mula orang kota mendengarkan khotbah-khotbahnya, tetapi lama-kelamaan mereka tidak datang lagi, sampai tidak ada segelintir orang pun yang mendengarkan kata-kata sang nabi.
Pada suatu hari seorang musafir bertanya kepada nabi: 'Mengapa Anda masih saja terus berkhotbah? Apakah Anda tidak tahu, bahwa tugas Anda itu sia-sia saja?'
Jawab sang nabi: 'Pada mulanya aku berharap dapat mengubah mereka. Kini aku masih terus berseru, agar supaya mereka jangan mengubah aku!'
46. JIMAT
Manusia merasa kesepian dan putus asa hidup di alam semesta yang luas ini. Maka ia selalu dicekam ketakutan.
Agama yang baik menghilangkan ketakutan. Agama yang jelek justru menambahnya.
Seorang ibu kurang berhasil membujuk puteranya yang masih kecil supaya pulang dari bermain sebelum petang hari. Maka ia menakut-nakutinya. Dikatakan kepadanya, bahwa jalan pulang ke rumah penuh dengan setan, yang berkeliaran segera sesudah matahari terbenam. Sekarang ibu itu tak bersusahpayah lagi. Setiap sore anaknya pulang pada waktunya.
Namun waktu si anak bertambah dewasa, ia jadi takut pada kegelapan dan setan, sehingga ia tidak berani keluar rumah di waktu malam. Maka ibunya memberinya sebuah kalung jimat dan meyakinkannya, bahwa selama ia memakai kalung itu, setan-setan tidak akan berani mengganggunya.
Nah, sekarang ia berani keluar di waktu gelap, sambil memegang erat-erat jimat itu.
Agama yang jelek memperkuat kepercayaannya akan jimat. Agama yang baik membuka matanya untuk melihat, bahwa setan-setan tidak ada.
47. NASRUDDIN DI TIONGKOK
Mullah Nasruddin pergi ke Tiongkok. Di sana ia mengumpulkan sekelompok murid, yang disiapkannya untuk menerima penerangan budi. Segera setelah mendapatkan penerangan, para murid itu berhenti mengikuti pelajarannya.
Bukanlah penghargaan bagi seorang pembimbing rohani, bahwa para murid selamanya duduk bersimpuh di depan kakinya.
48. KUCING SANG GURU
Setiap kali guru siap untuk melakukan ibadat malam, kucing asrama mengeong-ngeong, sehingga mengganggu orang yang sedang berdoa. Maka ia menyuruh supaya kucing itu diikat selama ibadat malam.
Lama sesudah guru meninggal, kucing itu masih tetap diikat selama ibadat malam. Dan setelah kucing itu mati, dibawalah kucing baru ke asrama, untuk dapat diikat sebagaimana biasa terjadi selama ibadat malam.
Berabad-abad kemudian kitab-kitab tafsir penuh dengan tulisan ilmiah murid-murid sang guru, mengenai peranan penting seekor kucing dalam ibadat yang diatur sebagaimana mestinya.
49. PAKAIAN LITURGI
Oktober, 1917: Pecahlah Revolusi Rusia. Sejarah manusia mendapatkan dimensi baru.
Dikisahkan, bahwa tepat pada bulan itu Gereja Ortodoks Rusia mengadakan sidang sinode[2]. Berlangsunglah suatu perdebatan sengit mengenai warna pakaian yang harus digunakan dalam upacara-upacara ibadat. Ada yang dengan suara keras menandaskan, bahwa seharusmya berwarna putih. Yang lain, dengan suara tidak kalah kerasnya, mengatakan bahwa harus berwarna ungu .
Berusaha mengerti masalah-masalah revolusi jauh lebih sukar daripada menyiapkan upacara ibadat yang indah. Aku lebih suka berdoa daripada terlibat dalam pertengkaran dengan tetangga.
--------[2] Sinode (Yunani): pertemuan para uskup wilayah gerejani
50. BUNGA TAPAL-KUDA
Seseorang yang bangga akan halaman rumahnya yang berumput indah, menjadi kecewa melihat tumbuh suburnya bunga-bunga tapal-kuda. Semua usaha sudah dicobanya untuk membasmi bunga-bunga itu, namun mereka tetap saja merajalela.
Akhirnya ia menulis surat kepada Departemen Pertanian. Satu persatu ia menyebutkan semua usaha yang telah dicobanya dan mengakhiri suratnya dengan pertanyaan: 'Apa yang semestinya kulakukan sekarang?'
Tidak lama kemudian datanglah surat balasan: 'Kami menganjurkan supaya Anda berusaha menyenangi bunga tapal-kuda.'
Aku juga punya halaman rumput yang kubanggakan; dan pikiranku juga diganggu oleh bunga tapal-kuda, maka aku berusaha keras untuk memberantasnya. Oleh karena itu, berusaha menyukainya sungguh tidak mudah.
Aku berusaha berbicara dengan mereka setiap hari. Dengan akrab. Dengan ramah. Namun mereka diam seribu bahasa. Mereka masih menyimpan dendam atas peperangan yang pernah kulancarkan melawan mereka. Rupanya mereka juga masih sedikit curiga akan alasan-alasan yang kukemukakan.
Tetapi tidak lama kemudian mereka tersenyum kembali. Tidak bersitegang lagi. Malahan menanggapi kata-kataku. Segera saja kami menjadi sahabat baik.
Memang, halaman-berumputku jelek nampaknya. Tetapi tamanku segera menjadi sangat indah berseri!
---o000o---
Perlahan-lahan ia menjadi buta. Dan ia memerangi kebutaan itu dengan segala cara. Ketika segala macam obat sudah tidak bisa lagi mencegahnya, ia melawan dengan seluruh luapan emosinya. Aku membutuhkan keberanian untuk berkata kepadanya: 'Kuanjurkan, engkau belajar mencintai kebutaanmu!'
Mulailah suatu perjuangan. Semula ia tidak sudi menanggapi usulku; bahkan dengan sepatah kata pun. Dan jika ia memaksa diri berbicara dengan kebutaannya, kata-katanya penuh dengan kemarahan dan kepahitan. Tetapi ia terus berbicara dan lambat laun kata-katanya semakin bernada menyerah, sabar dan menerima ... Dan akhirnya, pada suatu hari ia sendiri tidak menduganya - kata-katanya berubah menjadi hangat, manis, akrab ... dan kata-kata cinta. Lalu tibalah waktunya, ketika ia dapat merangkul kebutaannya dan berkata 'Aku cinta padamu.' Hari itulah aku melihat dia tersenyum lagi. Oh, betapa manisnya!
Penglihatannya, tentu saja, hilang untuk selamanya. Tetapi betapa berserinya wajah itu sekarang. Jauh lebih ceria daripada sebelumnya. Kebutaan datang berbagi hidup dengannya.
51. JANGAN BERUBAH
Aku sudah lama mudah naik darah. Aku serba kuatir, mudah tersinggung dan egois sekali. Setiap orang mengatakan bahwa aku harus berubah. Dan setiap orang terus-menerus menekankan, betapa mudah aku menjadi marah.
Aku sakit hati terhadap mereka, biarpun sebetulnya aku menyetujui nasehat mereka. Aku memang ingin berubah, tetapi aku tidak berdaya untuk berubah, betapapun aku telah berusaha.
Aku merasa paling tersinggung ketika sahabat karibku juga mengatakan, bahwa aku mudah naik pitam. Ia juga terus-menerus mendesak supaya aku berubah. Aku mengakui bahwa ia benar, meskipun aku tidak bisa membencinya. Aku merasa sama sekali tak berdaya dan terpasung.
Namun pada suatu hari ia berkata kepadaku: 'Jangan berubah! Tetaplah seperti itu saja. Sungguh, tidak jadi soal, apakah engkau berubah atau tidak. Aku mencintaimu sebagaimana kau ada. Aku tidak bisa tidak mencintaimu.'
Kata-kata itu berbunyi merdu dalam telingaku: 'Jangan berubah. Jangan berubah. Jangan berubah ... Aku mencintaimu.'
Dan aku menjadi tenang. Aku mulai bergairah. Dan, oh, sungguh mengherankan, aku berubah!
Sekarang aku tahu, bahwa aku tidak dapat benar-benar berubah, sebelum aku menemukan orang yang tetap akan mencintaiku, entah aku berubah atau tidak.
Engkau mencintaiku seperti itu, Tuhan?
52. SAHABATKU
Malik bin Dinar, sangat marah karena seorang pemuda yang hidup di sebelah rumahnya bertindak kurang ajar. Lama ia tidak berbuat apa-apa. Ia berharap, orang lain akan turun tangan. Tetapi setelah perilaku pemuda itu menjadi sungguh keterlaluan, maka Malik menegurnya, agar ia mengubah kelakuannya.
Pemuda itu dengan tenang memberitahu Malik, bahwa ia dilindungi oleh Sultan dan tidak seorang pun dapat menghalangi apa pun yang dikehendakinya.
Malik berkata: 'Aku sendiri akan mengadu kepada Sri Sultan.' Pemuda itu menanggapi: 'Samasekali tidak ada gunanya. Sebab, Sri Sultan tidak pernah berubah pandangan mengenai diriku.'
'Kalau begitu, engkau akan kulaporkan kepada Pencipta di surga!, kata Malik. 'Pencipta di surga?' tukas pemuda itu. 'Ia Maharahim sehingga tidak akan mempersalahkan aku!'
Malik tidak dapat berbuat apa-apa. Maka ditinggalkannya pemuda itu. Tetapi beberapa waktu kemudian nama si pemuda menjadi begitu jelek, hingga orang banyak pun menentangnya. Malik merasa wajib untuk mencoba memperingatkannya lagi. Ketika ia berjalan menuju rumah pemuda tersebut ia mendengar Suara dalam batinnya: 'Awas! Jangan menyentuh sahabatku. Ia ada di bawah perlindunganKu.' Malik menjadi bingung. Waktu bertemu muka dengan pemuda itu, ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Pemuda itu bertanya: 'Mengapa engkau datang?' Jawab Malik: 'Aku datang untuk menegurmu, tetapi di tengah jalan kudengar Suara yang melarangku untuk menyinggungmu, karena engkau berada di bawah perlindunganNya.'
Wajah pemuda bergajulan itu berubah: 'Benarkah Ia menyebut aku sahabatNya?' tanyanya. Tetapi pada saat itu Malik sudah meninggalkan rumahnya. Bertahun-tahun kemudian Malik berjumpa dengannya di Mekah. Ia begitu tersentuh oleh perkataan Suara itu, sehingga ia membagi-bagikan seluruh harta bendanya dan menjadi pengemis pengembara. 'Aku datang kemari untuk mencari Sahabatku,' katanya kepada Malik. Lalu ia meninggal.
Tuhan, sahabat orang berdosa? Pernyataan ini amat berbahaya, tetapi sekaligus berkekuatan luar biasa. Aku pernah mencobanya pada diriku sendiri, ketika aku berkata: 'Tuhan Maharahim sehingga tidak akan mempersalahkan aku.' Dan tiba-tiba aku mendengar Kabar Gembira, --pertama kali dalam hidupku.
53 PEMUDA ARAB YANG SEDERHANA
Guru Arab Jalalud-Din Rumi senang sekali menceritakan kisah berikut ini:
Pada suatu hari Nabi Muhammad sedang bersembahyang subuh di mesjid. Di antara orang-orang yang ikut berdoa dengan Nabi adalah seorang pemuda Arab.
Nabi mulai membaca Qur'an dan mendaras ayat yang menyatakan perkataan Firaun: 'Aku ini dewa yang benar.' Mendengar perkataan itu pemuda yang baik itu tiba-tiba menjadi marah. Ia memecah keheningan dengan berteriak: 'Pembual busuk, bangsat dia!'
Nabi berdiam diri. Tetapi seusai sembahyang, orang-orang lain mencela orang Arab itu dengan gusar: 'Apakah engkau tidak tahu malu? Niscaya doamu tidak berkenan kepada Tuhan. Sebab, engkau tidak hanya merusak kekhusukan suasana doa, tetapi juga mengucapkan kata-kata kotor di hadapan Rasul Allah.'
Wajah pemuda yang malang itu menjadi merah padam dan ia gemetar ketakutan, sampai-sampai Malaikat Jibrail menampakkan diri pada Nabi dan bersabda: 'Assalamuallaikum! Allah berfirman agar engkau menyuruh orang banyak berhenti mencaci-maki pemuda yang sederhana ini. Sungguh, sumpah serapahnya yang jujur berkenan di hatiKu, melebihi doa orang-orang saleh.'
Bila kita berdoa, Tuhan melihat ke dalam hati kita dan bukan pada rumusan kata-kata.
54. KAMI BERTIGA, KAMU BERTIGA.
Ketika kapal seorang Uskup berlabuh untuk satu hari di sebuah pulau yang terpencil, ia bermaksud menggunakan hari itu sebaik-baiknya. Ia berjalan-jalan menyusur pantai dan menjumpai tiga orang nelayan sedang memperbaiki pukat. Dalam bahasa Inggeris pasaran mereka menerangkan, bahwa berabad-abad sebelumnya mereka telah dibaptis oleh para misionaris. 'Kami orang Kristen,' kata mereka sambil dengan bangga menunjuk dada.
Uskup amat terkesan. Apakah mereka tahu doa Bapa Kami? Ternyata mereka belum pernah mendengarnya. Uskup terkejut sekali. Bagaimana orang-orang ini dapat menyebut diri mereka Kristen, kalau mereka tidak mengenal sesuatu yang begitu dasariah seperti doa Bapa Kami?
'Lantas, apa yang kamu ucapkan bila berdoa?'
'Kami memandang ke langit. Kami berdoa: 'Kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami.' Uskup heran akan doa mereka yang primitif dan jelas bersifat bid'ah ini. Maka sepanjang hari ia mengajar mereka berdoa Bapa Kami. Nelayan-nelayan itu sulit sekali menghafal, tetapi mereka berusaha sebisa-bisanya. Sebelum berangkat lagi pada pagi hari berikutnya, Uskup merasa puas. Sebab, mereka dapat mengucapkan doa Bapa Kami dengan lengkap tanpa satu kesalahan pun.
Beberapa bulan kemudian kapal Uskup kebetulan melewati kepulauan itu lagi. Uskup mondar-mandir di geladak sambil berdoa malam. Dengan rasa senang ia mengenang, bahwa di salah satu pulau yang terpencil itu ada tiga orang yang mampu berdoa Bapa Kami dengan lengkap berkat usahanya yang penuh kesabaran. Sedang ia termenung, secara kebetulan ia, melihat seberkas cahaya di arah Timur. Cahaya itu bergerak mendekati kapal. Sambil memandang keheran-heranan, Uskup melihat tiga sosok tubuh manusia berjalan di atas air, menuju ke kapal. Kapten kapal menghentikan kapalnya dan semua pelaut berjejal-jejal di pinggir geladak untuk melihat pemandangan ajaib ini.
Ketika mereka sudah dekat, barulah Uskup mengenali tiga sahabatnya, para nelayan dulu. 'Bapak Uskup', seru mereka, 'Kami sangat senang bertemu dengan Bapak lagi. Kami dengar kapal Bapak melewati pulau kami, maka cepat-cepat kami datang.'
'Apa yang kamu inginkan?' tanya Uskup tercengang-cengang.
'Bapak Uskup,' jawab mereka, 'kami sungguh-sungguh amat menyesal. Kami lupa akan doa yang bagus itu. Kami berkata: Bapa kami Yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu; datanglah kerajaanMu ... lantas kami lupa. Ajarilah kami sekali lagi seluruh doa itu!'
Uskup merasa rendah diri: 'Sudahlah, pulang saja, saudara-saudaraku yang baik, dan setiap kali kamu berdoa, katakanlah saja: Kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami.'
Aku kadang-kadang melihat wanita-wanita tua berdoa rosario tak habis-habisnya di gereja. Bagaimana mungkin Tuhan dimuliakan dengan suara bergumam yang tidak keruan itu? Tetapi setiap kali aku melihat mata mereka atau memandang wajah mereka menengadah, di dalam hati aku tahu, bahwa mereka lebih dekat dengan Tuhan daripada banyak orang terpelajar.
55. DOA BISA BERBAHAYA.
Inilah cerita yang sangat disukai oleh Guru Sufi Sa'di dari Shiraz:
Salah seorang sahabatku senang sekali karena isterinya mengandung. Ia ingin sekali mendapatkan anak laki-laki. Tak henti-hentinya ia berdoa kepada Tuhan dan menjanjikan berbagai kaul dengan ujud itu.
Maka terjadilah, bahwa isterinya melahirkan seorang anak laki-laki. Sahabatku bergembira sekali dan mengundang seluruh penduduk kampung untuk merayakan pesta syukur.
Bertahun-tahun kemudian, sekembaliku dari Mekah, aku melewati kampung sahabatku itu. Aku diberitahu bahwa ia dipenjara.
'Mengapa? Apa kesalahannya?' tanyaku.
Tetangganya berkata: 'Anaknya mabuk, membunuh orang, kemudian melarikan diri. Maka ayahnya lalu ditangkap dan dipenjarakan.'
Meminta kepada Tuhan dengan tekun apa yang kita inginkan merupakan perbuatan yang patut dipuji.
Tetapi doa seperti itu juga amat berbahaya.
58. NARADA
Narada, seorang Hindu yang bijaksana, berziarah ke kuil Dewa Wisnu. Pada suatu malam ia singgah di sebuah desa dan diterima dengan baik oleh sepasang suami-isteri yang miskin. Sebelum ia berangkat pada hari berikutnya, si suami minta kepada Narada: 'Tuan akan pergi kepada Dewa Wisnu. Tolong mintakanlah kepadanya, agar Ia menganugerahi saya dan isteri saya seorang anak. Sebab, sudah bertahun-tahun lamanya kami berkeluarga, namun kami belum juga mempunyai anak.'
Sampai di kuil, Narada berkata kepada Dewa: 'Orang itu dengan isterinya amat baik kepada saya. Maka sudilah bermurah hati dan berilah mereka seorang anak.' Dewa menjawab dengan tegas: 'Telah menjadi nasib laki-laki itu, bahwa ia tidak akan mempunyai anak.' Maka Narada menyelesaikan kebaktiannya, lalu pulang.
Lima tahun kemudian Narada berziarah ke tempat yang sama. Ia singgah pula di desa yang sama dan sekali lagi diterima dengan baik oleh pasangan suami-isteri yang sama pula. Kali ini ada dua orang anak bermain-main di muka pondok mereka.
'Anak-anak siapa ini?' tanya Narada. 'Anak-anak saya.' jawab si suami. Narada bingung. Si suami meneruskan ceritanya: 'Segera setelah Tuan meninggalkan kami lima tahun yang lalu, seorang pengemis suci datang mengunjungi kampung kami. Kami menerimanya barang semalam. Paginya, sebelum berangkat, ia memberkati saya dan isteri saya ... dan Dewa mengaruniai kami dua orang anak ini.'
Mendengar cerita ini, Narada cepat-cepat menuju kuil Dewa Wisnu lagi. Ketika tiba di sana, dan pintu kuil ia sudah berteriak: 'Bukankah Dewa telah mengatakan: telah menjadi nasib laki-laki itu, bahwa ia tidak akan punya anak? Kini ia mempunyai dua orang anak!'
Ketika Dewa mendengar hal ini, ia tertawa keras dan berkata: 'Pasti perbuatan seorang suci! Hanya orang suci yang mempunyai kuasa untuk mengubah nasib seseorang.'
Kita diingatkan akan pesta nikah di Kana. Waktu itu Ibu Jesus mendesak Putranya dengan doa-doanya untuk melakukan mukjizat yang pertama sebelum waktunya seperti yang telah ditentukan oleh Allah Bapa.
57. KEPASTIAN PADA MATA UANG
Jendral Jepang termasyhur, Nobunaga, memutuskan untuk menyerang, meskipun jumlah prajuritnya hanya sepersepuluh dari jumlah prajurit musuh. Ia yakin bahwa ia akan menang, tetapi para prajuritnya merasa sangsi.
Dalam perjalanan menuju peperangan, mereka berhenti di sebuah kuil Shinto. Sesudah berdoa di dalam kuil, Nobunaga keluar dan berkata: 'Sekarang, aku akan melemparkan mata uang. Jika gambar kepala yang kelihatan, kita akan menang. Kalau angka yang kelihatan, kita akan kalah. Nasib akan terungkap sekarang.'
Ia melempar mata uang. Tampak gambar kepala. Para prajurit begitu bersemangat maju perang, hingga mereka menang dengan mudah.
Hari berikutnya seorang ajudan berkata kepada Nobunaga: 'Tak seorang pun dapat rnengubah nasib yang sudah ditakdirkan untuknya.' 'Memang betul,' kata Nobunaga, sambil menunjukkan mata uang rangkap, yang kedua sisinya bergambar kepala.
Kekuatan doa? Kekuatan takdir? Ataukah kekuatan iman yang yakin bahwa sesuatu akan terjadi?
59. SERIGALA TUA
Sebuah dongeng yang diceritakan oleh mistik Arab, Sa'di:
Seorang yang sedang melewati hutan melihat seekor serigala yang sudah lumpuh keempat kakinya. Ia ingin tahu bagaimana serigala itu dapat hidup terus. Lalu ia melihat seekor harimau datang dengan memakan kijang hasil buruannya. Harimau itu makan sepuasnya dan meninggalkan sisa bagi serigala.
Hari berikutnya Tuhan memberi makan serigala dengan perantaraan harimau yang sama. Orang itupun mulai mengagumi kebaikan Tuhan yang begitu besar dan berkata dalam hati: 'Aku juga akan menganggur di rumah saja dengan penuh kepercayaan kepada Tuhan, karena Ia akan mencukupi segala kebutuhanku.'
Ia melakukan niatnya berhari-hari lamanya, tetapi tak terjadi apa-apa. Ketika orang yang malang ini sudah hampir mati, terdengarlah Suara: Hai, engkau, orang yang sesat, bukalah matamu pada pada kebenaran! Ikutilah teladan harimau dan berhentilah meniru serigala yang lumpuh!
Di jalan aku melihat seorang gadis kecil menggigil kedinginan dalam pakaiannya yang tipis. Tiada harapan baginya untuk mendapatkan cukup makanan. Aku menjadi marah dan berkata kepada Tuhan: 'Mengapa hal ini Kaubiarkan? Mengapa Engkau tidak berbuat sesuatu?'
Sementara waktu Tuhan tidak berkata apa-apa. Malamnya Ia menjawab dengan sangat tiba-tiba: 'Aku telah berbuat sesuatu. Aku menciptakan engkau.'
58. BERDOA MOHON HUJAN
Kalau seorang neurotik datang minta pertolongan, jarang ia minta disembuhkan, karena setiap penyembuhan disertai rasa sakit. Yang sebenarnya dimintanya ialah agar neurosisnya [3] jangan dipersoalkan. Atau, yang paling baik, ia ingin mendapatkan mukjizat yang akan menyembuhkannya tanpa rasa sakit.
Seorang yang sudah tua tidak pernah melewatkan pipanya sehabis makan. Pada suatu malam isterinya mencium bau hangus. Maka ia pun berteriak: 'Demi Tuhan, Pak, engkau membakar jambangmu!'
'Aku tahu,' jawab orangtua itu dengan marah. 'Tidakkah kaulihat, bahwa aku sedang berdoa mohon hujan?'
--------[3] neurosis: sakit jiwa yang disebabkan oleh kerusakan sistem syaraf (= neuron, Yun.). Kata sifatnya neurotik.
61. LIMA ORANG RAHIB
Permintaan yang mendesak dari Lama [4] di Selatan sampai kepada Lama Agung di Utara. Ia meminta seorang rahib vang bijak dan suci untuk membimbing hidup rohani para calon rahib. Setiap orang heran bahwa Lama Agung mengirimkan sampai lima orang. Orang yang bertanya-tanya dijawabnya demikian: 'Untung jika salah satu dari lima rahib itu akhirnya sampai kepada Lama di Selatan.'
Para rahib itu sudah menempuh perjalanan selama beberapa hari, ketika seorang kurir menghampiri mereka. Katanya: 'Imam di desa kami meninggal. Kami membutuhkankan seorang pengganti.' Desa itu rupanya makmur dan menarik; lagi pula penghidupan Imam amat terjamin. Salah seorang rahib merasa terdorong untuk menggembalakan umat. 'Aku bukan murid Buddha sejati,' katanya, 'kalau aku tidak tinggal di sini untuk melayani mereka.' Maka ia tidak melanjutkan perjalanannya.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di Istana seorang raja yang tertarik kepada salah seorang rahib. Tinggallah di sini,' kata raja, 'dan aku akan memberikan puteriku kepadamu. Jika aku mati, engkaulah yang akan mengganti aku menduduki tahta kerajaan.' Hati rahib tertarik pada sang puteri yang cantik dan pada tahta kerajaan. Ia berkata: 'Apakah ada kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan peri kehidupan rakyat di sini daripada menerima kedudukan raja? Aku bukan murid Buddha sejati kalau aku tidak menerima kesempatan ini untuk mengabdi agama.' Ia tidak berjalan terus.
Tiga orang yang masih sisa meneruskan perjalanan. Pada suatu malam, di sebuah daerah pegunungan, mereka menginap di sebuah gubuk yang hanya didiami oleh seorang gadis manis. Ia menerima mereka dengan ramah. Ia bersyukur kepada Tuhan, karena Ia telah mempertemukannya dengan para rahib ini. Orangtua gadis itu dibunuh perampok dan ia tinggal sendirian penuh ketakutan. Di pagi harinya, pada waktu mereka mau berangkat, seorang rahib berkata: 'Aku akan tinggal bersama gadis ini. Aku bukan murid Buddha sejati, kalau tidak berbelas-kasih pada sesama.' Ia orang ketiga yang berhenti.
Dua orang sisanya akhirnya tiba di sebuah kampung kaum Buddha. Mereka terkejut ketika mengetahui bahwa semua penduduk meninggalkan agamanya dan kini ada di bawah pengaruh seorang guru Hindu. Rahib yang seorang berkata: 'Demi umat yang malang ini dan demi Buddha, aku harus tinggal di sini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar.' Dialah orang terakhir yang berhenti.
Rahib yang kelima akhirnya sampai di biara Lama di Selatan. Nah, bagaimanapun juga, Lama Agung dari Utara memang benar.
Beberapa tahun yang lalu aku bertekad mencari Tuhan. Berkali-kali aku berhenti di jalan. Selalu maksudku sangat mulia: untuk memperbaharui ibadah, untuk merombak susunan Gereja, untuk meningkatkan tafsir Kitab Suci, untuk membuat teologi lebih berarti bagi orang jaman kita.
Sayang, lebih mudah menenggelamkan diri dalam karya keagamaan, dalam karya apa pun, daripada bertahan terus mencari Tuhan.
--------[4] Lama: sebutan bagi bhiksu dan pendeta Buddha di Tibet
60. TUHAN MENJADI MAKANAN
Tuhan memutuskan untuk mengunjungi bumi. Maka Ia mengutus malaikatNya untuk menyelidiki keadaan lebih dahulu.
Malaikat kembali dengan laporan ini: 'Mereka kebanyakan kekurangan makanan,' katanya, 'dan kebanyakan juga menganggur.'
Tuhan berkata: 'Nah, Aku ingin menjelma dalam bentuk makanan bagi mereka yang kelaparan dan pekerjaan bagi mereka yang menganggur.
62. KENAIKAN PANGKAT
Calon pertama masuk:
Saudara tahu bahwa ujian sederhana ini kami berikan kepada saudara. sebelum saudara diterima bekerja di sini?
'Ya.'
'Nah, dua kali dua itu berapa?'
'Empat.'
Calon kedua masuk:
'Saudara siap untuk ujian?'
'Ya.'
'Nah, dua kali dua itu berapa?'
'Berapa saja, terserah Bapak.'
Calon kedua inilah yang mendapat pekerjaan.
Sikap calon kedua itulah yang amat dianjurkan, kalau Anda ingin mendapat kenaikan pangkat di setiap lembaga, baik yang sekular maupun yang bersifat keagamaan.
Sikap ini juga akan menghasilkan nilai yang tinggi dalam ulangan keagamaan. Itulah sebabnya, orang yang mendapat gelar dalam ilmu ketuhanan itu lebih dikenal karena kesetiaannya pada ajaran daripada kesetiaan pada kebenaran.
63. DIOGENES
Diogenes. seorang filsuf. makan ubi sebagai santap malamnya. Hal itu dilihat oleh rekannya filsuf Aristippos, yang hidup enak dan mewah karena menjilat raja.
Aristippos berkata: 'Kalau engkau mau belajar menghamba kepada raja, engkau tidak perlu lagi hidup dengan makan sampah seperti ubi itu.'
Jawab Diogenes: 'Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu menjilat raja.'
64. BERDIRI DAN MAJU UNTUK MEMBERI KESAKSIAN
Mengatakan kebenaran, seperti yang diyakini, menuntut keberanian, apalagi kalau seseorang termasuk anggota sebuah lembaga atau instansi.
Menentang lembaga atau instansi menuntut keberanian yang lebih besar lagi. Justeru hal seperti itulah yang dilakukan oleh Jesus.
Ketika Krushchev mengucapkan tuduhan berat untuk menggugat jaman Stalin, dilaporkan bahwa salah seorang yang ada di ruang sidang berkata: 'Engkau berpihak pada siapa, Saudara Krushchev, waktu semua orang yang tak bersalah ini dibantai?'
Krushchev berhenti, memandang ruang sidang berkeliling, lalu berkata: 'Kuminta, saudara yang baru menyela tadi berdiri dan maju!'
Ketegangan memuncak di ruang sidang. Tak seorang pun berdiri dan maju.
Lalu Krushchev meneruskan: 'Nah, sekarang Saudara sudah mendapat jawaban, entah siapakah Saudara. Dulu saya bersikap sama seperti Saudara sekarang ini!.'
Andaikata Jesus yang disuruh, tentu Ia akan berdiri dan maju.
65. KIOS KEBENARAN
Ketika aku melihat papan nama pada kios itu, hampir-hampir aku tidak percaya pada apa yang kubaca: KIOS KEBENARAN. Mereka menjual kebenaran di sana!
Gadis penjaga kios bertanya dengan amat sopan: kebenaran macam apa yang ingin kubeli, sebagian kebenaran atau seluruh kebenaran? Tentu saja seluruh kebenaran! Aku tidak perlu menipu diri, mengadakan pembelaan diri atau rasionalisasi lagi. Aku menginginkan kebenaranku: terang, terbuka, penuh dan utuh. Ia memberi isyarat, agar aku menuju bagian lain dalam kios itu, yang menjual kebenaran yang utuh.
Pemuda penjaga kios yang ada di sana memandangku dengan rasa kasihan dan menunjuk kepada daftar harga. 'Harganya amat tinggi Tuan,' katanya. 'Berapa?' tanyaku mantap, karena ingin mendapat seluruh kebenaran, berapapun harganya. 'Kalau Tuan membelinya,' katanya. 'Tuan akan membayarnya dengan kehilangan semua ketenangan dalam seluruh sisa hidup Tuan.'
Aku keluar dari kios itu dengan rasa sedih. Aku mengira bahwa aku dapat memperoleh seluruh kebenaran dengan harga murah. Aku masih belum siap menerima kebenaran. Kadang-kadang aku mendambakan damai dan ketenangan. Aku masih perlu sedikit menipu diri dengan membela dan membenarkan diri. Aku masih ingin berlindung di balik kepercayaan-kepercayaanku yang tak boleh dipertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar